hey anugrah!


[Book Review] The Punk

novel punk pertama di dunia

Kayaknya kalau saya nemu buku ini waktu jaman STM dulu, pasti saya sangat bahagia sekali. Pada waktu itu saya memang sedang suka-sukanya sama skena dan kultur punk.

Sekarang saya sudah tua dan pembahasan mengenai punk sudah saya anggap biasa saja, namun itu tidak membuat saya tidak suka punk. Masih ada rasa-rasa punk yang mengalir di pembuluh-pembuluh darah saya. Maka, ketika saya tidak sengaja mendapatkan buku ini dari sebuah toko buku di Bandung, atom-atom punk dalam darah saya masih berdesir.

Buku ini disimpan di ujung rak tempat buku-buku yang tidak laku. Syukurlah saya sabar memandangi punggung buku satu-satu di rak itu. Jika tidak, mungkin saja saya malah menyerah mencari buku “unik” dan malah membeli buku Rhenald Kasali yang tebel-tebel mampus itu.

Buku yang diberi judul The Punk ini murah. Kalau tidak salah, harganya kurang dari 50 ribu rupiah. Masuk akal dengan dimensi yang kecil dan halaman yang tidak banyak.

The Punk adalah sebuah novel yang ditulis oleh anak berusia 12 tahun. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 dimana Inggris sedang digoyang skena punk yang bikin banyak orang mual. Gideon, si penulis, membuat novel ini untuk memenuhi tugas sekolahnya. Walaupun ini memang untuk tugas sekolah, bukan berarti Gideon adalah anak yang rajin belajar. Gideon malah suka mabuk dan makan narkoba sambil mendengarjan lagu-lagu Sex Pistols. Meskipun begitu, ternyata novel ini digadang-gadang sebagai novel punk pertama di dunia. Gila gak tuh? Anak umur 12 tahun yang doyan mabok berhasil mencipta novel punk pertama di dunia.

Jika kamu mengasosiasikan kata punk dengan pemberontakan, itu memang sejalan. Namun, jangan harap kamu akan menemukan kisah pemberontakan kelas pekerja melawan sistem kapitalisme bajingan, atau kisah proletar meludahi borjuis, atau kisah global warming anjing, atau kisah pemujaan Karl Marx, atau kisah doktrin kultur punk yang anti-kemapanan. Novel ini bertemakan cinta.

Dikisahkan sang tokoh utama bernama Adolph Spitz yang jatuh cinta pada perempuan yang bernama Thelma – mantan pacar anak Ted (Ted diambil dari kata Teddy Bear, sebuah kelompok masyarakat kelas bawah yang membenci punk). Kisah cinta mereka dihiasi pemberontakan khas anak muda – membentak orang tua, berdandan punk, pergi ke gig musik punk, dan tawuran antar kelompok.

Saya malah memandang novel ini sangat tulus, tidak mengawang menggapai cerita yang jauh. Ini hanya soal cinta-cintaan. Seperti tagline di edisi Bahasa Indonesia ini: Romeo dan Juliet yang berpeniti.

Ini nyaris gak ada perang kelas sama sekali. Anak Punk dan anak Ted sama-sama kelas pekerja. Sangat sedikit deskripsi anti-kemapanan. Mungkin melawan keinginan orang tua bisa masuk deskripsi anti-kemapanan.

Tapi glorifikasinya terasa sekali. Tahun 1977 adalah tahun dimana skena punk lagi edan-edanan menyapu London. Sex Pistols, The Damned, dan The Clash ditulis sebagai pemanis wajib demi menjadikan aura novel ini sah disebut punk. Belum lagi klub malam The Roxy yang legendaris bagi skena punk saat itu. Oh, jangan lupakan perseteruan Jhonny Rotten dan Mick Jagger yang juga dijadikan bumbu yang dituang sedikit tapi sangat berkesan.

Secara keseluruhan, saya suka sama novel ini. Cocok dibaca sambil ngisep lem aibon (Enggak dong, bercanda saya teh. Lem Fox deh boleh). Novel ini begitu tulus, tidak berusaha membagus-baguskan punk. Kasarnya, punk itu sampah ya sampah aja. Memang begitu stereotype-nya kan? Yeuh, aing punk yeuh! Begitu, tidak pretentious.

Untuk kamu para remaja tanggung yang lagi nyari jati diri dengan jadi anak punk, boleh deh ini dibaca. Biar kamu bisa sombong sama teman satu skenamu bahwa kamu pernah baca novel punk pertama di dunia. Jadi referensi kamu tidak hanya bacotan-bacotan JRX SID doang.

---


# review
Baca catatan lainnya